Flash Vortex

Selasa, 14 Agustus 2012

Duta Indonesia


Saat ini sudah pukul 19.00, hari ini hari sabtu. Ya, saat ini adalah malam minggu, waktu di mana remaja-remaja berkencan dengan pacarnya. Pergi ke Mall, ke rumah pacarnya, ke rumah makan, tempat-tempat menarik semacam Ngarsopuro, dan ada juga yang memilih untuk pergi ke warung di trotoar jalan, hemat beibz. Bagi remaja yang tidak punya pacar seperti saya, kebanyakan memilih tinggal di rumah dan melihat acara TV yang itu-itu saja. Tapi ada juga yang memilih untuk pergi ke Mall untuk lirik-lirik pacar orang lain. Tapi sabtu malam ini aku akan menyaksikan sebuah pagelaran seni yang menampilkan kesenian-kesenian luar negeri.

Pukul 20.00, pagelaran sudah dimulai, penampilan dari berbagai negara silih berganti menghiasi panggung yang megah itu. Ada kesenian dari Skotlandia, Korea, Jepang, dan masih banyak lagi. Setiap penampil diberikan durasi waktu kurang lebih selama 30 menit.
Pukul 22.00, kesenian dari berbagai negara sudah ditampilkan, seketika itu hatiku menjadi iri dengan mereka. Aku ingin seperti mereka. Mereka bisa pergi ke luar negeri dan memperkenalkan budaya negaranya.
Namaku Dika, umurku 14 tahun, aku anak kelas 8 SMP. Ini hari senin, seperti biasa di sekolahku ada upacara bendera. Saat-saat yang sangat mendebarkan bagiku adalah saat melihat sang dwi warna dikibarkan. Aku memang bukan pengibar bendera itu, tapi aku merasa kain berwarna merah putih itu bukan sekedar kain yang sebanding dengan kain gombal atau kain lap. Kain berwarna merah putih ini memiliki sejarah yang panjang. Ia diperjuangkan oleh para pahlawan-pahlawan masa lampau, Ia dibela hingga tak sedikit nyawa yang melayang. Kain itu berkibar, kibarannya itu menggambarkan semangat yang dimiliki oleh semua pejuang pejuangdi masa lampau yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan menghapus penjajahan di negeri ini. Kibaranya sangat gagah, lebih gagah dari Ade Ray, lebih tinggi dari dari pemain basket manapun (karena tiang di sekolahku mempunyai tinggi 5 meter).
Siang itu, aku melihat temanku dan orang tuanya masuk ke ruang Kepsek SMP. Ia adalah pasangan duetku dalam menari. Aku penasaran dengan apa yang sedang dilakukannya. Aku mendekat ke jendela kayu yang dibuat berlubang itu, lalu aku menguping pembicaraan mereka. Tersentak aku ketika aku tahu bahwa ternyata temanku akan pergi ke luar negeri untuk tampil di sana. Ia tampil di sana bersama rombongan dari ayahnya.
"Lukman pergi ke Singapura bersama rombongan ayahnya?" gumamku. Ya, namanya Lukman. Lukman Hartono panjangnya. Ia dilahirkan oleh kedua orang tua yang sama sama menggeluti bidang seni. Ayah dan ibunya sama sama penari. Ayahnya sudah sering pergi ke luar negeri untuk sekedar tampil di sana. Keluarga Lukman memang keluarga yang tergolong kaya. Untuk urusan biaya, keluarganya bisa dengan mudah untuk pergi ke luar negeri. Mendengar Lukman akan pergi ke Singapura, iri sekali rasanya. Ia bisa mendapat kesempatan untuk ke luar negeri untuk menampilkan budaya jawa. Budaya nenek moyang yang telah dilimpahkan kepada kami para generasi muda. Budaya yang seiring berjalannya waktu menghilang, karena dominasi barat yang merajalela. Samar-samar kudengar mereka sudah akan mengakhiri pembicaraan, aku langsung pergi dari tempatku menguping dan memilih untuk langsung pulang.
Karena keirianku mendengar Lukman akan pergi ke luar negeri, aku bertekad untuk lebih mempelajari budaya jawa. Aku pergi ke salah satu sanggar seni ternama di Solo, lalu aku mempelajari budaya jawa di sana. Seminggu aku masuk 2 kali di sanggar. Hari rabu dan hari sabtu. aku mempelajari banyak hal, mulai dari mendalang, bermain gamelan, hingga menari. Guruku terlihat senang melihat ketekunanku belajar budaya jawa. Setelah sebulan aku belajar di sanggar itu, aku menjadi sering untuk diajak tampil di berbagai acara. Aku diminta untuk mendalang, bermain gamelan, atau menari di acara tersebut. Lumayan juga hasil yang aku dapatkan, selain mendapatkan ilmu yang bermanfaat, aku juga mendapatkan uang karena tampil di acara-acara tersebut. Itung-itung buat uang jajan.
Suatu hari menjelang tes kenaikan kelas aku dipanggil guru BP, aku diminta untuk ke kantornya sepulang sekolah nanti. Aku sungguh tidak tahu apa penyebab aku dipanggil, tapi yang jelas aku pasti menepati panggilan tersebut.
Sepulang sekolah, aku langsung menuju ke kantor BP. Takut dan kaget menjadi 1 dalam benakku. Tidak biasanya Bu Endang guru BP ku memarahi ku. Aku tidak tahu apa salahku. Aku tidak tahu mengapa Bu Endang sebegitu marahnya kepadaku. Pikiranku terus berputar hingga aku benar-benar merasa pusing. Jawaban tak kunjung ku temukan.
Setelah ceramah yang begitu panjang yang tidak jelas aku dengarkan itu selesai, dengan wajah sumringah Bu Endang menepuk-nepuk pundakku sambil tersenyum bangga. Ternyata aku dipanggil ke ruanganya karena Bu Endang ingin memperlihatkan kepadaku kalau fotoku dipajang di sebuah koran di solo dengan dengan topik generasi pewaris budaya jawa. Aku langsung meminta koran itu dan menunjukkanya kepada ibuku.
Ibuku senang bukan main. Ia langsung pergi ke penjual koran dan membeli sebuah koran yang sama dengan yang diperlihatkan Bu Endang, lalu di bagian berita ku Ia potong dan ditempelkan di pigura bekas yang ada di rumah.
Hari demi hari berlalu, ujian telah selesai, dan pengumuman kenaikan sudah diucapkan. Aku naik kelas. Hanya naik kelas tanpa prestasi yang membanggakan. Hanya menduduki ranking 18 di kelas yang berjumlah 37 anak itu. Ibuku sedikit kecewa karena prestasiku yang tidak meningkat.
Beberapa bulan sudah berlalu, aku sudah kelas 9 SMP. Sudah menjadi kebiasaan untuk bangun jam 5. Karena jam 6 sudah harus sampai di sekolah untuk masuk jam tambahan pagi, Tetapi hari ini terasa ada yang berbeda. Tidak biasanya ibuku membangunkanku pagi-pagi benar. Ini masih pukul 2 dan ini bukan bulan puasa. Ibuku membangunkanku sambil membawa secarik kertas beramplop dan bertuliskan sebuah instansi.
"Dik, Bangun Dik. Heeeeh, Banguun."
"Apato Bu? (melirik jam) Ibu nggak liat ini jam berapa? sekolahnya masih nanti" jawabku sambil menutup telingaku dengan bantal"
"Dika, denger mama dulu nak. Kamu mau ke luar negeri nggak?" ucapnya lembut yang membuat aku tersentak dan bangun dari tidurku.
"Ibu ini ada-ada saja. Uang dari mana? Ini juga bukan musim liburan, Bu. Aku sudah kelas 9, aku harus mempersiapkan diri untuk Ujian Nasional. Walaupun ini masih awal-awal masuk, tapi aku harus nyicil belajarnya" jawabku dengan nada datar.
"Ibu nggak mengada-ada sayang, Ibu serius. Kamu mau nggak pergi ke luar negeri? Ini baca sendiri" Ibu menyodorkan sepucuk surat. Aku membuka amplop surat itu, lalu aku baca perlahan, aku baca dengan cermat..
"MENJADI DUTA SENI INDONESIA KE KOREA?" teriak ku dengan wajah penuh keceriaan.
"Bu, aku mau Bu. Aku mau pergi ke luar negeri. Aku mau menjadi Duta Seni Indonesia, Bu, aku mau." kataku dengan tidak santai.
"Ibu akan mengijinkan tapi ada syaratnya"
"Apa bu?"
"Berjanjilah kamu akan bisa mempertanggung jawabkannya, tidak akan mempermalukan Indonesia, nilai ujianmu tidak boleh jelek, dan nilai akademis di sekolah harus tambah bagus" hidungku disentil ibu menggunakan jari telunjuknya.
"Iya bu, aku janji, Aku janji, Bu"
"Pokoknya sampai janji nggak ditepati ada hukumannya. Sudah sana lanjut tidur lagi" Ucap Ibu sambil berjalan menjauhiku.
Hari-hariku menjadi sangat sibuk. Sepulang sekolah aku harus mempersiapkan hal-hal yang aku presentasikan di sana. Aku juga harus mengurus pasport ku, aku harus mempersiapkan alat alat peraga yang aku bawa kesana, aku harus mempersiapkan kostum di sana, sibuk packing juga, teman-temanku sampai keheranan karena tingkahku. Aku lupa untuk memberitahu mereka semua tentang kepergianku ini. Aku pergi ke kantor Kepala Sekolah untuk mengurus surat ijin dari sekolah. Belum sempat aku berbicara, Bapak Kepala Sekolah malah terus berbicara dan terus membanding-bandingkan aku dengan Lukman. Lukman yang pergi ke luar negeri lah, ke sini, ke situ, tetapi dengan papanya. Saat aku berbicara aku akan pergi ke korea untuk menjadi duta seni Indonesia, Bapak Kepala Sekolah langsung bangga kepadaku. Dan cepat-cepat Ia memberikan surat ijin itu.
Persiapan demi persiapan sudah aku jalani dan sudah selesai, semua orang yang mengenalku ikut bangga saat tahu aku akan menjadi duta seni Indonesia. Termasuk Bapak Kepala Sekolah yang tidak dapat menyembunyikan perasaan bangganya. Bu Endang, guru BP ku juga ikut bangga, terlebih guru kesenian di SMP ku. Guru kesenianku lebih bangga karena aku ke luar negeri bukan karena usaha orang tuaku seperti Lukman, tetapi murni usahaku tentu saja atas izin Allah.
Aku pergi ke Korea bersama 1 temanku yang juga menjadi duta seni bersamaku. Banyak pengalaman yang aku rasakan. Pengalaman pertama naik pesawat, ke luar negeri tanpa didampingi orang tua, mendapat banyak teman dari berbagai negara, aku sangat senang.
Dan hal yang paling berkesan bagiku adalah aku bisa membawa nama Indonesia di event internasional. Aku cinta Indonesia. Saat ini sudah bukan penjajahan dengan kekerasan dan sebagainya. Saat ini penjajahan masih terjadi. Penjajahan bagi bangsa Indonesia untuk lebih mencintai kebudayaan luar negeri daripada kebudayaan dalam negeri, penjajahan bagi kesenian bangsa Indonesia yang di klaim oleh bangsa lain, penjajahan bagi bangsa Indonesia untuk lebih suka makan Burger daripada makan Gethuk, dan banyak lagi. Ayolah, cintai budaya negeri ini layaknya aku mencintai negeri ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar